Selasa, 20 Maret 2012

AMIL ZAKAT - MANAJEMEN ZIS

AMIL ZAKAT I. PENDAHULUAN Zakat merupakan Ibadah yang masuk kedalam Rukun Islam yang ketiga,sebagaimana telah diungkapkan dalam hadis Nabi sehingga keberadaanyamerupakan bagian yang mutlak dari keIslaman seseorang, bahkan didalam Al-Qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat yang menjajarkan kewajiban Sholat dengan Zakat dalam berbagai bentuk kata. Selama pelaksanaannya, fungsi daripada Zakat itu sendiri belum begitu maksimal, karena belum berfungsinya Zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum terkumpulnya Zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpul Zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan Zakatnya masih terbatas. Pemberdayaan ekonomi Ummat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Ummat Islam itu sendiri. Kesadaran pelaksanaan zakat masih di kalangan Ummat Islam masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti sholat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariah Islam menyebabkan pelaksanaan Ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah harta ini menjadi lebih efektif dan efisien. II. PERMASALAHAN A. Apa Pengertian Amil Zakat dalam Kitab-Kitab Fiqh dan perundang-undangan? B. Syarat Amil Zakat profesional? III. PEMBAHASAN A. Pengertian Amil Zakat dalam Kitab-Kitab Fiqh dan Perundang-undangan Amil adalah berasal dari kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, Menurut Qardhawi yang dimaksudkan amil zakat dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat. Jika yang mengelola adalah lembaga, maka semua pihak yang terkait dengannya adalah amil, baik itu direkturnya, para pegawai di bidang manajemen, keuangan, pendistribisian, pengumpulan, keamanan dan lain-lain. Mereka ini mendapatkan gaji dari bagian Amil Zakat tersebut. Pengertian Amil menurut pendapat empat Mazhab memiliki beberapa perbedaan namun tidak signifikan. Imam Syafi’i mendefinisikan Amil sebagai orang yang bekerja mengurusi Zakat, sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat tersebut. Mażhab ini merumuskan ‘Amil sebagai berikut: “Amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh Imam (pemerintah) untuk mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dimasukkannya Amil sebagai Asnaf menunjukkan bahwa Zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara). Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya. Hanafi memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat. Pendapat Imam Hanbal yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya (sesuai dengan upah pekerjaanya). Sedangkap pengertian Amil menurut Imam Maliki lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat, dsb. Syarat amil harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat. Secara konsep dapat dipahami bahwa dengan semakin tinggi tingkat keprofesionalan Amil akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan para Mustahiq, khususnya Amil, mengingat konsep Fikih secara jelas mencanangkan bahwa hak mereka adalah 12,5% atau 1/8 dari harta terkumpul. Ada juga beberapa Ahli Fiqh yang berbeda-beda dalam memutuskan gaji yang diberikan kepada Amil tersebut. Ada pendapat Mazhab Mâliki dan jumhur ulama’, yang mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. hanya saja, Abû Hanîfah membatasi pemberian gaji atau upah Amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul. Sementara itu Imam Syafi’i membolehkan pengambilan upah sebesar 1/8 (seperdelapan) dari total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul. Pelaksanaan zakat melalui amil zakat dari muzakki untuk kemudian disalurkan pada mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal kariatif (kedermawaan) , tetapi ia juga suatu kewajiban yang juga bersifat otoriatif (ijibari) . Pengelola zakat oleh lembaga pengelola zakat apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal akan memiliki beberapa keuntungan antara lain : 1. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. 2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari pada muzakki. 3. Untuk mencapai efisien dan efektivitas. 4. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum Syari’ah adalah syah, akan tetapi disamping akan terbaikkannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat . Karena adanya lembaga pengelola zakat sangat penting seperti yang telah disebutkan di atas, maka pemerintah harus memperhatikan orang-orang yang menjadi amil zakat. Mereka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syar’i. Sukses tidaknya suatu lembaga zakat sangat tergantung pada orang yang mengelolanya (amil). Hukum Islam menekankan tanggung jawab pemerintah dalam mengumpulkan zakat dengan cara yang hak. Allah berfirman dalam Al-Qur`an surat al-Hajj (22) ayat 41 : “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. Jika pemerintah tidak memainkan peranannya dalam mengurusi zakat, maka boleh didirikan badan, institusi, asosiasi, atau panitia yang melaksanakan tanggung jawab ini. Undang-Undang RI No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab III pasal 6 dan 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan oleh masyarakat. Hal ini sesuai perintah Allah bahwasannya perlu dengan adanya suatu lembaga yang mengelola dana zakat, dalam surat at taubah ayat 103 yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (dari kekikiran dan cinta berlebihan kepada harta) dan menyucikan (menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati) mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahu i”. Arti ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahiq). Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil dan yang menjemput zakat adalah para petugas zakat (amil). Masyarakat yang akan mendirikan LAZ dan untuk mendapatkan izin operasionalnya dengan sah maka harus memenuhi beberapa syarat sesuai dengan UU No 38 Tahun 1999, yaitu: 1) Memiliki Badan hukum (telah tercatat di dalam akta notaris). 2) Telah berjalan selama dua tahun. 3) Memiliki data muzakki dan mustahiq setempat. 4) Memiliki laporan keuangan. 5) Bersedia untuk diaudit (bersifat terbuka atau masyarkat bisa mengetahui jalannya kegiatan BAZ atau LAZ tersebut) Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait. B. Syarat Amil Zakat Profesional Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pengelola Zakat atau ‘Amil zakat menurut Qardhawi adalah: a. Muslim. b. Mukallaf. c. Jujur. d. Memahami hukum-hukum zakat. e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya. f. Laki-laki (tidak ada persoalan laki-laki atau perempuan, semuanya bisa menjadi seorang Amil). g. Dan yang terakhir, Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka bukan seorang hamba. Disamping Syarat-syarat di atas, menurut kami masih ada syarat lain yang memang harus di penuhi untuk menjadi seorang Amil Zakat profesional, yakni yang meliputi kegiatan-kegiatan yang masih bersifat inti (mendasar) dalam lembaga amil zakat yaitu: penghimpunan, pengelolaan, pendayagunaan, dan pendistribusian. 1. Penghimpunan Penghimpunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan dana ZIS dari muzakki, atau sering disebut juga dengan fundraising atau penggalangan dana. Peran fungsi dan tugas divisi atau bidang penghimpunan dikhususkan mengumpulkan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf dari masyarakat. 2. Pengelolaan (keuangan). Seperti juga struktur keuangan lembaga yang lain, struktur keuangan zakat terdiri atas dua bidang yaitu bendahara dan akuntansi. Ada dua verifikasi yang dikerjakan yakni verifikasi penerimaan dan pengeluaran. Verifikasi penerimaan dimulai sejak dana ditransfer dari muzakki hingga masuk ke lembaga zakat. Sedangkan verifikasi pengeluaran dicermati sejak diajukan hingga pencairan dana. Bendahara (kasir) berfungsi mengeluarkan dana yang telah disetujui. Sedangkan bidang akuntansi melakukan pencatatan keluar masuknya uang. Pencatatan ini diinput dalam jurnal harian. Setelah itu diposting kedalam buku besar. Dalam kerjanya sesungguhnya akuntansi memilah atas dua segi yakni akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen. Akuntansi keuangan dibuat sesuai pernyataan standar akuntansi, sementara akuntansi manajemen dikerjakan sesuai dengan kebutuhan lembaga. 3. Pendayagunaan Sesungguhnya jatuh bangunnya lembaga zakat terletak pada kreativitas divisi pendayagunaan, yaitu bagaimana amil (lembaga zakat) mendistribusikan zakat dengan inovasi-inovasi yang baru dan bisa memenuhi tujuan pendistribusian zakat kepada mustahiq. Pendayagunaan program pemberdayaan mustahiq merupakan inti dari zakatraising. 4. Pendistribusian Pendistribusian adalah suatu kegiatan dimana zakat bisa sampai kepada mustahiq secara tepat. Kegiatan pendistribusian sangat berkaitan dengan pendayagunaan, karena apa yang akan didistribusikan disesuaikan dengan pendayagunaan. Akan tetapi juga tidak bisa terlepas dari penghimpunan dan pengelolaan. Jika penghimpunannya tidak maksimal dan mungkin malah tidak memperoleh dana zakat sedikitpun maka tidak akan ada dana yang didistribusikan. Pendistribusian zakat ini bisa dibagi menjadi dua, yakni berupa : zakat produktif , bisa diberikan dalam bentuk heeewn pelihraan, alat untuk usaha (mesin jahit,perbengkelan). Pemberian zakat dalam bentuk ini akan mendorong orang untuk menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan pekerjaan bagi pra fakir miskin. Zakat konsumtif yang biasanya diberikan dalam bentuk beasiswa bagi para siswa yang kurang mampu, dan juga di salurkan secara langsung dalam bentuk uang, beras, ataupun bahan-bahan sembako yang lainnya. IV. KESIMPULAN Amil Zakat adalah orang yang bertugas dari penerimaan sampai dengan penyaluran Zakat kepada yang benar-benar ber-hak menerimanya. Dalam kaitannya dengan Syarat Amil Zakat Profesional itu simple saja, sebenarnya cukup kita lihat dari pada proses kinerja para Amil Zakat tersebut, Amil Zakat yang profesional pasti sudah bisa mengolah semua proses-proses yang seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Tidak berbelit-belit dengan dana atau zakat yang disalurkan oleh Masyarakat ataupun yang dikumpulkan dari masyarakat. V. PENUTUP Alhamdulillah, dengan ijin Allah SWT akhirnya makalah ini bisa kami selesaikan. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam pencarian materi dan dalam penyampaiannya. Oleh karenanya kritik atau saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan guna mencapai kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan ilmu serta inspirasi kepada kita semua dalam menyikapi dan menghadapi pembagian dan penyaluran zakat pada khususnya. DAFTAR PUSTAKA  Ali, M. D.1988. Sitem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press.  Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta : Gema Insani  http://www.eramuslim.com/konsultasi/zakat/arc/3  http://www.dpukaltim.org/34/138/58/Amil  Qardhawy, yusuf. 2000. Fiqh al-Zakat. Bairut : Muasasah al Risalah  UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar